Kamis, 03 September 2015

Terkait Maraknya Penjualan Buku LKS (bag 2)

John W SIjabat;
Dijadikan Ajang Cari Keuntungan, LKS Sebaiknya Ditarik
WANTARA, Kab Bekasi
Tidak sejalan dengan kurikulum dan kurang bermutu serta terkesan hanya dijadikan ajang mencari keuntungan pribadi dan golongan yang justru merugikan dunia pendidikan, Buku Lembar Kerja Siswa (LKS) sebaiknya ditarik kembali.
Demikian dikatakan sekretaris jendral Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Rakyat Anti Korupsi (DPP-LSM GERAK) di kantornya di Tambun, Kab Bekasi, Senin (31/8) menanggapi keluhan beberapa orangtua murid atas mahalnya harga buku LKS yang dijual pihak sekolah bekerjasama dengan salah seoarang oknum petinggi organisasi kewartawanan Bekasi yang sekaligus bertindak membec up sekolah-sekolah yang menjual LKS dari para aktivis, LSM maupun wartawan yang akan meliput penjualan LKS tersebut.

Sebagaimana diberitakan WANTARA pada edisi sebelumnya (edisi 80) bahwa hampir seluruh sekolah yang ada di Kabupaten Bekasi dan penjualannya dialakukan secara sistemik, terintegrasi, dan terstruktur melibatkan beberapa oknum LSM wartawan hingga ke petinggi organisasi kewartawanan yang ada di Kab Bekasi. Praktek-praktek kotor tersebut terus berkelanjutan dan terjadi hampir di setiap tahun ajaran baru (setiap semester).

Ironisnya, kata John, peran serta beberapa oknum LSM, wartawan dan petinggi organisasi kewartawanan tersebut tidak saja untuk membekingi sekolah dari penjualan LKS tetapi hampir seluruh praktek-praktek kotor yang dilakukan pihak sekolah mulai PPDB diluar prosedur serta bebarbagai pungutan liar yang dilakukan pihak sekolah dilindungi mereka. Lebih ironis lagi, jika ada wartawan maupun anggota LSM yang mencoba bernegosiasi dengan pihak sekolah, para beking tersebut bekerja sama dengan pihak sekolah dan aparat penegak hukum lainnya yang telah menjadi kroninya menggiring anggota LSM maupun wartawan tersebut terjebak dalam tindak pidana seperti yang dialami tiga orang wartawan yang terjebak tindak pidana pemerasan baru-baru ini.

“Bila dicermati secara mendalam penggunaan LKS di sekolah-sekolah yang ada di Kab Bekasi ditemukan kejanggalan dan patut dipertanyakan ada beberapa sekolah di Kab Bekasi baik tingkat SD, SMP maupun SMA yang tidak menjual dan tidak menggunakan buku LKS, artinya, penggunaan Buku LKS di sekolah bukan merupakan sebuah kewajiban dan keharusan. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan kurikulum yang kini menggunakan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan mengacu pada Standar nasional Pendidikan yang telah disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP).” Ujar John.

JIka ditilik dari harga perpaket LKS untuk tingkat SD berkisaran Rp 110.000/10 buku-Rp 147.000/12 buku, tingkat SMP Rp. 170.000/13buku, dan SMA/SMK RP 170.000/12 buku, ditemukan selisah harga di pasaran/toko buku sebesar 50%. Artinya, penjualan buku LKS tersebut diduga dilakukan bukan atas dasar kepentingan anak didik melainkan atas dasar untuk mendapatkan keuntungan dari selisi harga di pasaran sebsar 50% tersebut. Lalu mengapa inspektorat dan pihak dinas Pendidikan Kab Bekasi tidak melarang penjualan dan penggunaan buku LKS di sekolah-sekolah,? Atau setidak tidaknya melakukan peninjauan materi yang terkandung dalam isi LKS tersebut untuk mengetahui layak tidaknya LKS tersebut digunakan dalam dunia pendidikan bekasi.

“Seperti saya katakan, ini kejahatan sistemik, artinya, meski tidak secara nyata tersurat penggunaan dan penjualan LKS masuk dalam sistem pendidikan Kab Bekasi, dan secara terstrutur, pihak dinas pendidikan Kab Bekasi terlibat didalamnya melalui Seksi Kurikulum. Bahkan informasi yang kami terima menyatakan bahwa pihak bidang Kurikulum dinas pendidikan Kab Bekasi melalui rekanan distributornya menitipkan setidaknya tiga buku LKS dalam setiap paketnya, yang diataranya adalah; Bahasa Sunda, Seni Budaya dan Pelajaran Lingkungan Hidup,” jelas John. 

Menurut John, dari selisih penjualan LKS tersebut secara terintegrasi diatur pembangian, dimulai dari guru mata pelajaran, wali kelas, mendapat bagian yang sama. Komite sekolah, kepala sekolah, K3S, Ketua UPTD, mendapat bagian yang sama. Selanjutnya di dinas pendidikan diatur oleh Kasie Kurikulum di setiap bidangnya. Sementara Oknum LSM dan wartawan yang turut serta dalam penjualan LKS mendapat bagian dari pihak distributor dan pihak sekolah (kecuali yang menjadi distributor langsung). Khusus untuk Onum petinggi organisasi kewartawanan Bekasi yang menjadi Beking mendapat bagia berdasarkan jumlah siswa. 

Lanjut John, dalam waktu dekat ini pihaknya akan menyurati Kemendikbud untuk mengaujakan pertimbangan-pertimbangan serta kajian-kajian untung ruginya penjualan dan penggunaan buku LKS yang ada sekarang ini. Selanjutnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang diabuat oleh tim DPP LSM GERAK, pihaknya akan meminta Kemendikbud untuk memerintahkan Bupati Bekasi melalui Dinas Pendidikan menarik kembali buku LKS yang telah beredar. 

Kami katakana penjualan dan penggunaan, artinya pertimbangan-pertimbangan yang akan kami ajukan nantinya ditinjau dari aspek dan kegunaan maupun dampak yang ditimbulkan dari penjualan dan penggunaan LKS tersebut. 

Ditinjau dari penjualan, masyarakat dirugikan dari selisi harga di pasaran. Meskipun dengan alasan klise tidak dipaksakan untuk membeli di tempat yang ditentukan, kita tau bahwa guru dan tenaga pendidik lainnya khusunya kepala sekolah memiliki kuasa penuh terhadap siswa yang ada disekolahnya dan hal tersebut sangat menakutkan orangtua murid. 

“Kita tau bahwa orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah negeri rata-rata berasal dari kalangan bawah yang berupaya menggunakan fasilitas sekolah gratis. Jadi tidak ada alasan orangtua siswa dengan suka relah membeli LKS yang harganya dua kali lipat di sekolah,” tegas John.   
Ditinjau dari penggunaan, LKS awalnya digunakan pada kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), sementara kurikulum saat ini menggunakan kurikulum KTSP dan Kurtilas. Materi yang ada pada Buku LKS hingga saat ini masih itu-itu saja, sehingga pengunaan LKS selain tidak memenuhi standar kuri kulum KTSP maupun Kutilas mangakibatkan kemundurun pengetahuan dan menhilangkan kreatifitas siswa maupun guru, sehingga kedua-duanya dirugikan yang ujung-ujungnya merugikan Negara yang telah memberikan insentif berupa tunjangan sertifikasi, kompetensi Bidang Studi dll. 

Negara juga dirugikan dengan kelulusan siswa/siswi yang minim pengetahuan maupun kreatifitasnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sisiwa/I yang mendapatkan dalam mengikuti Ulangan Nasional dengan alasan soal-soal yang diajukan belum pernah dijarkan di sekolah. (Polman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar