Kamis, 04 Juli 2013

Pelaksanaan Program SRI Sarat KKN



   WANTARA, Karawang 
 Seharusnya pupuk organik jenis butiran yang diterima oleh Kelompok Tani Banyu Sakti 2, ternyata yang dikirim adalah pupuk organik sejenis kotoran hewan yang masih basah dan tidak melalui proses. Harganya jauh lebih murah. Diduga hal itu sengaja dilakukan untuk meraup keuntungan di luar kewajaran alias sarat tindak KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Budidaya Padi Metoda SRI (System of Rice Intensification) merupakan teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktivitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktivitas padi hingga besaran 50 persen.
Kabupaten (Kab) Karawang, yang memiliki lahan sawah seluas 94.311 hektar telah mendapat kepercayaan dari Direktorat Perluasan dan Pengolahan Lahan, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian RI, untuk melaksanakan program SRI pada tahun 2013 untuk seluas 15.000 hektar, terbagi dalam 750 kelompk tani (perkelompok tani 20 hektar)

Tujuan pengambangan SRI di antaranya adalah meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani serta menghasilkan produksi yang berdaya saing tinggi, sehat dan berkelanjutan

Untuk tercapainya tujuan pengembangan SRI ini, kelompok tani mengadakan musyawarah tentang rencana usulan penyediaan sarana produksi pertanian yang diserahkan sepenuhnya kepada anggota kelompok agar hasil pembangunan melalui kegiatan ini benar-benar dapat dinikmati manfaatnya bagi sebesar-besarnya kesejahteraan petani

Ketua Kelompok Tani Banyu Sakti 2 Desa Palawad, Kecamatan (Kec) Karawang Timur, E. Jarkasih menerangkan, ”ketua kelompok tani yang akan mendapatkan program SRI di Kec Karawang Timur, mengadakan musyawarah di kantor BPP dipimpin oleh Kepala UPTD Pertanian Kec Karawang Timur, tentang pengadaan sarana pertanian dalam pemakaian pupuk organic.

Hasil keputusan rapat akan dikirim pupuk organik sejenis butiran dengan harga Rp. 585 per kg sampai lokasi yang ditunjuk, karena pupuk organik butiran lebih mudah dan praktis ditaburkanya serta tidak menggumpal dan berdebu”.

Namun di lapangan, kenyatannya berbeda dan dikirim pupuk organik sejenis kotoran hewan dengan harga Rp.750 per kg. Ini menyalahi keputusan berdasarkan hasil musyawarah yang seharusnya dikirim organik butiran dengan harga lebih tinggi dari pupuk organik atau kotoran sapi.

“Saya meminta kepada Kepala Dinas Pertanian untuk turun ke lapangan, meninjau para petani,” tegas E. Jarkasih sambil memperlihatkan Rencana Usulan Kegiatan Kelompok (RUKK) yang telah ditandatanganinya.

Sementara Ariman sebagai Ketua Kelompok Tani Subur Jaya, Desa Tunggak Jati, Kec Karawang Barat, mengatakan , “kelompok kami mendapatkan program melaksanakan SRI, waktu mendapatkan kiriman pupuk organik telat diterimanya, karena areal sawah di kelompok sudah pada tandur. Pupuk yang kami terima pupuk kotoran hewan dalam keadaan basah sehingga menimbulkan bau tak sedap, anggota kelompok pun tidak mau menaburkannya”.

“ Masa kotoran yang baru keluar dari hewan dikirim, saya kira akan dikirim pupuk organik butiran,” tegas Ariman dengan nada kesal

Menanggapi kasus ini, pemerhati petani, Lili Sadeli beralamat di Kec Rengasdengklok mengatakan, “pelaksanaan program SRI diharapkan komitmen dari berbagai pihak untuk dapat melaksanakan kegiatannya dengan baik sesuai dengan musyawarah dan waktu yang telah ditentukan, supaya hasilnya benar-benar dapat dinikmati manfaatnya oleh para petani”.

Lili Sadeli menambahkan, ”pada konsep pedoman teknis pengembangan System of Rice Intencification tahun 2012 tertulis jelas, untuk memberikan acuan umum bagi petugas Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi, Kabupaten/Kota dan petugas lapangan dalam melaksanakan kegiatan SRI yang dananya bersumber dari APBN.

“Di sini seharusnya Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, harus berpihak kepada petani. Jangan sampai berpihak kepada perusahaan penyuplai sarana pertanian, karena kalau berpihak kepada perusahaan akan ada barang tidak terpakai oleh petani, sehingga tujuan program SRI yang diharapkan, tidak akan tercapai,” terangnya

Salah satu sarana produksi yang diterima oleh kelompok tidak terpakai adalah pupuk berbentuk bahan organik kotoran hewan, “sampai saat ini di kelompok masih tersisa, karena anggota kelompok tani tidak mau mempergunakan pupuk tersebut, karena pada waktu diterima ada yang masih basah, dan apabila sudah kering ditaburkan ke sawah akan menjadi berdebu,” tegasnya

Hingga berita ini diturunkan Kepala Dinas Pertanian belum dapat dikonformasi. (RASIME OP HRJ)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar