Jumat, 15 Maret 2013

Terkait Penyekapan dan Penganiayaan Iskandar dan Andi Anderson Oleh Unit 1 Jatanras Polda Metro Jaya Polisi Abaikan Asas Praduga Tak Bersalah dan Langgar HAM


 Oleh : John W Sijabat Sekjen DPP LSM GERAK
Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir.

Asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada pada si-tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan.


Sikap itu paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan, Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya, untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud.

Cara-cara yang dilakukan petugas dari Unit 1 Jatanras Polda Metro Jaya (PMJ), telah melanggar asas praduga tak bersalah yang menjurus kepada pelanggaran Hak Asasi Mausia (HAM), karena fakta hukum yag minim yang didapat dari hasil penyelidikan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Dengan dalih melalui alat Densus 88, terdeteksi nomor telepon Iskandar beredar di sekitar TKP, sehigga Iskandar diduga kuat terlibat dalam perkara yang disangkakan.

Pada rana pembenaran dikeluarkannya surat peritah penangkapan telah terjadi penyimpangan yang bertentangan dengan pasal 17 KUHAP, karena deteksi nomor telepon tidak termasuk kategori alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 187 KUHAP. Hal ini juga tercantum dalam pasal 36 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang berbunyi, “surat perintah penangkapan hanya dapat dibuat berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Pertanyaannya, apakah penggunaan nomor telepon seluler di lokasa kejadian dapat digunakan sebagai bukti permulaan yang cukup ?.

Dalam proses penangkapan harus pulah dihormati hak-hak tersangka, termasuk hak untuk tetap diam atau pun hak unut kelakukan pembelaan dengan melakukan penyangkalan, karena hak tersebut merupakan hak asasi sitersangka. Tindakan tim 1 Unit Jatanras PMJ melakukan interogasi dengan dalih tahanan titipan selama 2 hari di Pol Pos Metland Tambun, merupakan pelanggaran, karena bertentangan dengan pasal 19 KUHAP, yang menyatakan, penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan paling lama satu hari.

Demikian juga penganiayaan yang dilakukan terhadap kedua tersangka dengan pukulan dan menyetrun dengan tongkat berkekuatan tenaga listrik, sehingga mengakibatkan keretakan pada tulang dada Iskandar, dapat dikategorikan pelanggara HAM. Demikian juga penempatan istri Andi Anderson, Iin Hertiin bersama bayinya Alfira (3,5 tahun) selama lebih dari 24 jam di Pol Pos tanpa dilengkapi surat perintah, merupakan tindakan pidana perampasan kebesan orang sebagaimana diatur dalam pasal 333 KUHP.

Terhadap tindakan yang dilakukan oleh Unit 1 Jatanras PMJ di atas dapat disimpulkan, telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang menjurus kepada pelanggaran HAM berupa penganiayaan dan penyekapan, dan para oknum pelaku layak diajukan ke meja hijau, agar tidak melukai hati rakyat dan tidak mencoreng citra Kepolisian RI. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar